Tuesday 8 September 2015

Membangun Jiwa Merdeka dari Perpustakaan!


OLEH : ROMI FEBRIYANTO SAPUTRO
(FINALIS 2 BISNIS INDONESIA WRITING CONTEST)

Tanpa terasa usia kemerdekaan negeri yang oleh Stephen Openheimer disebut Eden in The East ini sudah memasuki usia tujuh puluh tahun. Kemerdekaan yang diproklamasikan oleh duet bapak bangsa, Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah langkah awal untuk melahirkan manusia Indonesia dengan jiwa merdeka. Bebas menentukan langkah secara mandiri tanpa tergantung dengan pihak lain. Inilah esensi jiwa merdeka.

Ironisnya, tujuh puluh tahun kemerdekaan Indonesia masih dihiasi dengan manusia yang belum berjiwa merdeka alias berjiwa budak. Raga memang merdeka tetapi jiwa masih seperti budak sehingga suka menjerumuskan sesama pada praktik perbudakan modern. Jika pada zaman penjajahan banyak pangreh praja yang rela diperbudak oleh pemerintahan kolonial Belanda, maka pada zaman kemerdekaan ini masih ada juga pejabat negara yang bermental budak. Memiliki ketergantungan yang sangat tinggi dengan pihak asing.

Indonesia adalah negeri yang kaya raya dengan sumber daya alam. Alangkah lucu negeri ini ketika untuk mengatasi masalah pengangguran pemerintah memfasilitasi pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Seperti negeri gurun di timur tengah dan berbagai negara dengan luas wilayah lebih kecil dari Indonesia. Seolah tak ada jalan lain yang bisa ditempuh. Ini mirip dengan tragedi pengiriman nenek moyang kita ke Suriname oleh penjajah Belanda.

Ketika itu pemerintah kolonial menjajikan gaji besar bagi rakyat yang mau kerja di Suriname. Mirip dengan yang dilakukan oleh instansi negara yang menangani tenaga kerja di negeri ini. Pemerintah Belanda pada tahun 1890 telah mengirimkan 32.986 orang TKI asal pulau Jawa ke Suriname, suatu negara jajahan Belanda di Amerika Selatan. Tujuan pengiriman TKI itu adalah untuk mengganti tugas para budak asal Afrika yang telah dibebaskan pada tanggal 1 Juli 1863.

Membangun jiwa merdeka adalah modal penting untuk menuju kejayaan negara. Soekarno memperoleh jiwa merdeka jauh hari sebelum memproklamasikan kemerdekaaan. Bersama dengan Kartosuwiryo, Semaun dan Muso, berguru kepada HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh Gang VII, Surabaya. Rumah kos-kosan milik Tjokroaminoto ini adalah rumah belajar untuk memiliki jiwa merdeka. Penghuni rumah kos ini kelak akan menjadi aktor utama untuk membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan.

Seperti yang tergambar dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” esensi untuk menggapai jiwa merdeka adalah iqra dan hijrah. Tjokro kecil yang mendapat wejangan dari guru spiritual sekaligus kakeknya, Kyai Hasan Besari, dari pondok Tegal Sari Ponorogo. Sang guru mewariskan dua hal penting kepada muridnya yaitu untuk selalu rajin melakukan iqra dan hijrah.

Iqra artinya membaca. Baik membaca buku secara tekstual maupun membaca tanda-tanda yang ada pada setiap zaman. Sukarno adalah pembaca yang ulung, Kartosuwiryo ialah pembaca yang hebat, Semaun dan Muso merupakan pembaca yang pintar. Tak ada alumnus Gang Peneleh ini yang tuna buku atau tak suka membaca. Semua adalah para pembaca buku yang mumpuni meskipun saat itu adalah masa kolonialisme Belanda.

Hijrah adalah melakukan perubahan dari keadaan yang buruk menuju kebaikan, dari zero menuju hero, dari keterpurukan menuju kejayaan, dan dari perbudakan menuju kemerdekaan. Meskipun bersimpang jalan, para murid Tjokro ini sudah membuktikan bahwa mereka memiliki jiwa merdeka. Sukarno memproklamasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1945, Muso mendirikan Negara Komunis pada 18 September 1948 di Madiun, Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949. Satu guru mampu menghasilkan tiga proklamator negara yang berbeda dan saling berseteru sebagaimana digambarkan dalam novel karya Haris Priyatna, “Seteru Satu Guru”.

Buku adalah menu utama yang disajikan Tjokroaminoto untuk menumbuhkan dan membangkitkan jiwa merdeka para pemuda yang menjadi muridnya. Melalui perpustakaan pribadi Tjokroaminoto Soekarno membaca buku de Franse Revolutie (Revolusi Perancis), Du contrat social ou principles du droit politique (kontak Sosial atau Prinsip-prinsip Hak Politik ) karya Rousseau, Thomas Jefferson : an Autobiography, dan History of the United States. Membaca buku-buku ini membuat jiwa merdeka para penghuni rumah kos di Jalan Peneleh semakin berkobar-kobar untuk membabat habis segala macam bentuk penjajahan di muka bumi.

Dalam buku “Penyambung Lidah Rakyat“, Sukarno menuturkan, “Pak Tjokro adalah pujaanku, aku adalah muridnya. Secara sadar atau tidak ia menggemblengku. Aku duduk dekat kakinya dan diberikan kepadaku buku-bukunya, diberikan padaku miliknya yang berharga.“

Tujuh puluh tahun kemerdekaan Indonesia mesti membuat pemerintah sadar untuk membentuk jiwa merdeka melalui perpustakaan. Sejarah Indonesia mencatat bahwa pada kurun waktu 1950 – 1960, Presiden Soekarno mulai memperhatikan dunia perpustakaan. Untuk keperluan rakyat, didirikan tiga jenis perpustakaan umum yang lebih dikenal dengan nama Taman Pustaka Rakyat (TPR). Pembangunan TPR disesuaikan dengan tingkat pemerintahan.

Di setiap desa didirikan Taman Pustaka Rakyat C dengan komposisi koleksi 40 % bacaan untuk siswa setingkat SD dan 60 % untuk siswa setingkat SMP. Untuk tingkat kabupaten, pemerintah membangun Taman Pustaka Rakyat B dengan komposisi koleksi 40 % untuk buku bacaan setingkat SMP dan 60 % untuk bacaan setara siswa SMA. Di ibukota provinsi dibangun Taman Pustaka Rakyat A. Ketika itu, pembangunan TPR sebagai perpustakaan umum berjalan dengan cepat. Semua koleksi dan gaji pegawai TPR ditanggung oleh pemerintah (Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan).

Sukarno sangat sadar bahwa untuk membangun jiwa merdeka diperlukan membaca. Membaca adalah aktivitas merdeka untuk merengkuh energi kemajuan. Menghapus kebodohan, mental budak, dan ruang gelap yang sengaja diciptakan oleh para penjajah untuk melanggengkan perbudakan atas bangsa ini. Presiden Jokowi diharapkan bisa meniru langkah Presiden Sukarno ini dalam mengobarkan jiwa merdeka melalui perpustakaan.

Membaca buku adalah sang pembebas bagi mental dan jiwa yang sedang tertindas. Ia akan melahirkan manusia baru yaitu manusia berjiwa merdeka. Tjokroaminoto mengajarkan bahwa manusia berjiwa merdeka memiliki tiga hal utama.

Pertama, setinggi-tinggi ilmu. Ilmu adalah cahaya kehidupan yang akan mengubah gelap menjadi terang, pandir menjadi pandai, dan budak menjadi merdeka. Ilmu bisa didapat dengan membaca atau menempuh pendidikan di bangku sekolah. Murid-murid Tjokroaminoto termasuk golongan yang beruntung karena mereka bisa menikmati pendidikan di Hogere Burger School (HBS), sekolah Belanda yang didesain dengan kualitas sama dengan di negeri asalnya. HBS adalah sekolah lanjutan tingkat menengah, setara dengan SMP dan SMA saat ini tetapi memiliki waktu belajar hanya lima tahun.

Guru di HBS rata-rata bergelar professor yang sengaja dikirim dari Den Haag, Belanda. Dari sekitar 300 orang murid HBS Surabaya, hanya 20 orang yang berasal dari pribumi termasuk Soekarno, Kartosuwiryo, dan Muso. Jiwa merdeka ketiga tokoh bangsa ini semakin berkembang biak di sekolah milik penjajah ini.

Ironisnya, saat ini yang berlaku di negeri ini bukanlah setinggi-tinggi ilmu melainkan setinggi-tinggi ijazah. Jual beli ijazah marak terjadi di negeri ini sejak dulu kala dan tahun ini kembali diributkan. Mulai ijazah asli tapi palsu, palsu tapi asli, asli setengah palsu, palsu setengah asli sampai seratus persen palsu. Ijazah lebih berharga daripada ilmu. Tak usah heran jika ada PNS yang hanya menguasai ijazahnya saja tanpa menguasai ilmu yang tertulis di lembar ijazahnya.

Kedua, sepandai-pandai siasat. Artinya, ilmu yang diperoleh perlu diaplikasikan secara lateral seperti sebuah siasat. Istilah berpikir lateral digunakan oleh Edward de Bono, seorang psikolog dari Malta, sebagai judul bukunya “Berpikir Lateral”, yang diterbitkan pada tahun 1967. De Bono mendefinisikan berpikir lateral sebagai suatu metoda berpikir yang lebih menitik beratkan kepada perubahan konsep dan persepsi. Berpikir lateral ditandai dengan adanya perpindahan pola berpikir, dari pola berpikir yang terduga atau yang selaras, menuju kepada ide yang tidak terduga.

Arab Saudi dan Indonesia adalah negara penghasil minyak dan gas (migas). Arab Saudi berkembang menjadi negara yang maju dan rakyatnya hidup makmur dengan mengandalkan migas. Sebaliknya, Indonesia tetap tertidur pulas berada di zona nyaman sebagai negara yang sedang berkembang meskipun memiliki lumbung migas.

Arab Saudi berpikir lateral dengan melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi migas dengan jiwa merdeka. Indonesia mengandalkan kontrak karya dengan perusahaan asing. Bahkan ketika pemerintah menawarkan kepada Pertamina untuk mengelola seratus persen Blok Mahakam, Pertamina memutuskan hanya sanggup mengelola tujuh puluh persen. Sisanya mereka serahkan kepada perusahaan asing. Ternyata para pengurus negeri ini belum berjiwa merdeka !

Ketiga, semurni-murni tauhid. Tauhid adalah meng”Esa” kan Tuhan dalam segala aspek kehidupan manusia. Manusia merdeka adalah manusia yang mengabdi hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengabdian kepada selainNya hanya akan melahirkan manusia koruptor dan politikus busuk yang suka memperbudak sesama manusia.

Perpustakaan merupakan lahan potensial untuk memproduksi jiwa merdeka. Di Sragen penulis sangat bergembira ketika bertemu Wahyu Widodo, seorang remaja yang baru lulus SMA. Wahyu biasa menikmati buku dan internet di Perpustakaan Desa Wonorejo, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Sragen. Di jendela dunia ini, Wahyu menemukan inspirasi untuk terjun menjadi pebisnis online bibit jahe merah. Berbekal jiwa merdeka, remaja desa ini kini sukses menangguk penghasilan 3 – 4 juta per bulan. Kisah ini pernah dimuat di beberapa media online di tanah air.

Pak Jokowi, saya percaya Anda mau dan mampu untuk lebih banyak lagi melahirkan jiwa merdeka di negeri tercinta ini !

Post Comment

0 komentar:

Post a Comment